Kamis, 11 November 2010

Nunukan: Pulau TKI (2)

Human trafficking atau perdagangan manusia tidak hanya merendahkan martabat manusia tetapi juga merupakan kejahatan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia karena telah merusak serta membunuh citra dan martabat manusia sebagai citra Allah Sang Pencipta. Gereja, sebagai persekutuan umat beriman, perlu melakukan tindakan nyata bersama dengan masyarakat umum memperjuangkan Harkat Martabat Manusia guna mengembalikan Citra dan Gambaran Allah dalam diri manusia. Nunukan, keuskupan Tanjung Selor (Kalimantan Timur) adalah satu tempat transit dan korban deportasi TKI.


Mengapa Gereja Terlibat?

Gereja sebagai tanda kehadiran Allah yang berziarah dalam sejarah manusia di tengah dunia hadir dan bergumul dalam persoalan-persoalan kemanusiaan. Keprihatinan Gereja kian hari kian masuk ke dalam nurani dan budi. Melalui ajaran sosialnya, Gereja Katolik ingin mengajak seluruh umat beriman untuk peduli pada nasib sesama, terutama mereka yang miskin, menderita, terasing dan terbuang dari kancah dunia.

Keadilan yang diabaikan berdampak pada terjadinya kemiskinan, kebodohan serta penderitaan. Hal ini merupakan dosa yang terus-menerus terjadi. Persoalan tersebut menuntut sikap dan perhatian yang bijak, arif dan lebih serius dari semua pihak yang berkehendak baik, agar dosa itu tidak berkembang. Maraknya berbagai bentuk kekerasan yang menimpa para buruh migrant khususnya perdagangan manusia menunjukkan jumlah korban yang cukup tinggi, yaitu 2.273 orang. Perdagangan manusia juga disadari sebagai perusakan wajah Allah oleh sesama umat. Bapa Suci Paus Benediktus XVI menyikapi hal tersebut dengan memberikan perhatian secara khusus melalui pesannya pada hari migran dan perantau sedunia yang jatuh pada tanggal 13 Januari 2008.

Gereja Katolik melalui Komisi Keadilan Perdamainan dan Pastoral Migran Perantau KWI bekerja sama Komisi Migran dan Peratau Keuskupan Tanjung Selor mengadakan reksa pastoral bersama untuk menangani persoalan migran dan perdagangan manusia. Keuskupan Tanjung Selor menjadi pilihan karena satu paroki ada di Nunukan dan merupakan pulau tempat terjadinya mobilitas tenaga kerja Indonesia. Sebagai daerah transit dan juga sebagai pintu gerbang untuk mendeportasi TKI dari Malaysia, Nunukan mempunyai aneka persoalan dan masalah, baik sosial, ekonomi, moral dan juga budaya.


Latar Belakang Keprihatinan

Dalam kunjungan dan reksa pastoral, Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau Konferensi Waligereja Indonesia di Nunukan, Kalimantan Timur dari tanggal 26 – 28 Agustus 2008 secara nyata diharapkan dapat menanggapi keprihatinan atas persoalan TKI, perdagangan manusia dan problematikanya. Keprihatinan ini didasari oleh keyakinan bahwa untuk mengupayakan pembelaan terhadap pemulihan martabat kemanusiaan perlu dilakukan secara serius bersama-sama. Kegiatan ini berjalan dalam nuansa iman kristiani dan dituntun oleh jamahan kuat kuasa Roh Allah sendiri. Selain masukan-masukan dari lapangan, sharing pengalaman peserta, diskusi-diskusi, pembahasan dan pendalaman yang dinamis, serta diteguhkan dengan doa, permenungan dan ekaristi yang turut mewarnai jalannya kunjungan dan reksa pastoral. Adapun yang hadir dalam reksa pastoral adalah wakil dari Keuskupan-keuskupan se-Indonesia. Kondisi memprihatinkan itu terlihat dengan maraknya migrasi yang dilakukan oleh cukup banyak anak bangsa ini. Jutaan orang berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain, dengan pelbagai alasan terutama adalah karena kemiskinan. Data berikut menunjukkan keuskupan asal para TKI ilegal yang masuk ke Malaysia melalui pintu Kab. Nunukan:[1]

- Keuskupan Larantuka NTT: 27.000 orang
- Keuskupan Maumere NTT: 15.000 orang
- Keuskupan Agung Ende NTT: 10.000 orang
- Keuskupan Agung Makassar dan Keuskupan Manado Sulawesi: 36.000 orang

Tujuan penting kegiatan ini adalah:

  1. Keinginan menyebarluaskan keprihatinan Gereja Katolik terhadap masalah maraknya perdagangan manusia.
  2. Melalui kegiatan ini sebagai media membangun kepeduliaan umat Katolik untuk bersatu hati dan gerak dalam rangka turut mencegah atau mengurangi menuju pada terhapusnya perdagangan manusia
  3. Menemukan bentuk pastoral bersama antar keuskupan di Indonesia dalam rangka reksa pastoral terhadap para TKI
  4. Membentuk jaringan reksa pastoral antara Keuskupan Tanjung Selor dengan keuskupan asal TKI yang beragama Katolik dan keuskupan-keuskupan di Malaysia (Aldi)

[1] Data berasal dari Disnakertrans Kab. Nunukan tahun 2007

Nunukan: Antara Harapan dan Kenyataan (1)

Tanggal 25 – 29 Agustus 2008 saya 'jalan-jalan' ke Nunukan dalam rangka tugas dari kantor komisi Keadilan dan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau untuk mempromosikan budaya anti perdagangan manusia. Gereja Katolik berjuang dan berusaha untuk melawan human trafficking karena hal tersebut sungguh merusak manusia sebagai citra Allah. Sebagai gambar Allah manusia bukan barang yang bisa diperdagangkan begitu saja. Nah alasan ini pula yang membuat saya akan men-sharing-kan pengalaman di Nunukan beserta refleksi dan permenungan untuk kita semua. Tentu menyelesaikan semua masalah Nunukan tidak mungkin, tetapi menjadi pribadi yang peduli adalah sesuatu yang sangat kristiani.

Tanggal 25 pagi-pagi jam 04.00 saya diantar mas Anton (sopir paroki) meluncur ke Unio di Jln. Krmat VII no. 10 untuk menjemput teman-teman imam dari daerah asal TKI, yaitu dari Larantuka, Maumere dan Ende. Selain dari keuskupan di wilayah NTT ada juga teman-teman dari Manado, karena Manado juga merupakan daerah asal TKI yang cukup besar jumlahnya. Dari Unio kami ramai-ramai naik dua mobil menuju bandara dan di bandara kami terbagi menjadi dua kelompok. Tiga orang naik Sriwijaya menuju Tarakan dan delapan orang naik Mandala menuju Tarakan.

Kurang lebih jam 12.00 WITA kami tiba di Tarakan. Oleh pastor paroki Tarakan kami langsung diantar menuju ke dermaga untuk naik speed ke Nunukan. Kalau lebih pagi mungkin bisa naik penerbangan Trigana atau DAS dari Tarakan ke Nunukan. Karena terlalu siang, untuk mencapai Nunukan kami naik speed. Jam 13.00 WITA speed kami mulai laju (kata orang Kalimantan, artinya mulai berjalan). Kurang lebih tiga jam kami tempuh perjalanan dari Tarakan ke Nunukan. Sambil ngantuk-ngantuk dan sedikit menahan lapar saya tersenyum-senyum memperhatikan teman-teman imam yang mulai 'neklak-nekluk' karena ngantuk dan menguap sana-sini.

Sampai di Nunukan sudah agak sore kurang lebih jam 16.00 dan kami langsung dijemput oleh panitia untuk sejenak minum teh dan bersih-bersih diri di penginapan yangsudah disiapkan. Jam 17.00 an waktu setempat kami ditawari untuk menengok barak-barak yang biasa dipakai untuk menampung ketika ada deportasi TKI dari Malaysia. Tidak jauh dari penginapan saya terpukau dengan bangunan dari papan yang cukup banyak jumlahnya di dekat lapangan bola. Saya pikir bukan barak atau tempat pengungsian melainkan tempat untuk pengembangan ternak atau apalah lainnya. Apalagi bangunan-bangunan itu agak jauh dari pemukiman penduduk.

Keterpukauan saya belum selesai, ternyata mobil yang saya tumpangi semakin mendekati bangunan-bangunan dari kayu dan berlantaikan tanah dengan rumput di sekitarnya yang berserakan tidak teratur. Saya mencoba untuk bertanya kepada romo yang mengantar kami semua. Dan betul bahwa itulah, bangunan-bangunan seperti inilah yang merupakan tempat untuk menampung para TKI yang kena usir dari Malaysia. Tuhan Allah, mengapa dunia masih saja menyalibkan Putramu dalam hidup dan tubuh para TKI?

Malam itu saya tidak bisa makan. Bukan karena makanannya tidak enak. Melainkan saya tidak bisa makan karena di luar tempat kami menginap banyak saudara-saudara yang lain yang tidak sempat makan karena hidupnya tidak beruntung dan mengalami stress karena pengusiran dari Malaysia. (Aldi)