Tanggal 25 – 29 Agustus 2008 saya 'jalan-jalan' ke Nunukan dalam rangka tugas dari kantor komisi Keadilan dan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau untuk mempromosikan budaya anti perdagangan manusia. Gereja Katolik berjuang dan berusaha untuk melawan human trafficking karena hal tersebut sungguh merusak manusia sebagai citra Allah. Sebagai gambar Allah manusia bukan barang yang bisa diperdagangkan begitu saja. Nah alasan ini pula yang membuat saya akan men-sharing-kan pengalaman di Nunukan beserta refleksi dan permenungan untuk kita semua. Tentu menyelesaikan semua masalah Nunukan tidak mungkin, tetapi menjadi pribadi yang peduli adalah sesuatu yang sangat kristiani.
Tanggal 25 pagi-pagi jam 04.00 saya diantar mas Anton (sopir paroki) meluncur ke Unio di Jln. Krmat VII no. 10 untuk menjemput teman-teman imam dari daerah asal TKI, yaitu dari Larantuka, Maumere dan Ende. Selain dari keuskupan di wilayah NTT ada juga teman-teman dari Manado, karena Manado juga merupakan daerah asal TKI yang cukup besar jumlahnya. Dari Unio kami ramai-ramai naik dua mobil menuju bandara dan di bandara kami terbagi menjadi dua kelompok. Tiga orang naik Sriwijaya menuju Tarakan dan delapan orang naik Mandala menuju Tarakan.
Kurang lebih jam 12.00 WITA kami tiba di Tarakan. Oleh pastor paroki Tarakan kami langsung diantar menuju ke dermaga untuk naik speed ke Nunukan. Kalau lebih pagi mungkin bisa naik penerbangan Trigana atau DAS dari Tarakan ke Nunukan. Karena terlalu siang, untuk mencapai Nunukan kami naik speed. Jam 13.00 WITA speed kami mulai laju (kata orang Kalimantan, artinya mulai berjalan). Kurang lebih tiga jam kami tempuh perjalanan dari Tarakan ke Nunukan. Sambil ngantuk-ngantuk dan sedikit menahan lapar saya tersenyum-senyum memperhatikan teman-teman imam yang mulai 'neklak-nekluk' karena ngantuk dan menguap sana-sini.
Sampai di Nunukan sudah agak sore kurang lebih jam 16.00 dan kami langsung dijemput oleh panitia untuk sejenak minum teh dan bersih-bersih diri di penginapan yangsudah disiapkan. Jam 17.00 an waktu setempat kami ditawari untuk menengok barak-barak yang biasa dipakai untuk menampung ketika ada deportasi TKI dari Malaysia. Tidak jauh dari penginapan saya terpukau dengan bangunan dari papan yang cukup banyak jumlahnya di dekat lapangan bola. Saya pikir bukan barak atau tempat pengungsian melainkan tempat untuk pengembangan ternak atau apalah lainnya. Apalagi bangunan-bangunan itu agak jauh dari pemukiman penduduk.
Keterpukauan saya belum selesai, ternyata mobil yang saya tumpangi semakin mendekati bangunan-bangunan dari kayu dan berlantaikan tanah dengan rumput di sekitarnya yang berserakan tidak teratur. Saya mencoba untuk bertanya kepada romo yang mengantar kami semua. Dan betul bahwa itulah, bangunan-bangunan seperti inilah yang merupakan tempat untuk menampung para TKI yang kena usir dari Malaysia. Tuhan Allah, mengapa dunia masih saja menyalibkan Putramu dalam hidup dan tubuh para TKI?
Malam itu saya tidak bisa makan. Bukan karena makanannya tidak enak. Melainkan saya tidak bisa makan karena di luar tempat kami menginap banyak saudara-saudara yang lain yang tidak sempat makan karena hidupnya tidak beruntung dan mengalami stress karena pengusiran dari Malaysia. (Aldi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar