Senin, 30 Agustus 2010

Doa Sebagai Kekuatan Pelayanan dalam Berparoki



















Saya ditahbiskan menjadi imam saat Gereja Katolik Indonesia sedang berjuang mengembangkan semangat Konsili Vatikan II dan gerakan Eklesiologi Asia. Akibatnya pemahaman saya tentang sebuah paroki berkembang sesuai dengan model yang diembuskan saat itu. Dalam dokumen liturgi diungkapkan, semua sakramen Gereja akan semakin jelas maknanya kalau menjadi 'alat' untuk mengajarkan hidup Kristiani. Setiap sakramen Gereja akan semakin menarik ketika membantu umat untuk siap mengadakan perubahan hidup. Akibatnya kehidupan doa pribadi maupun doa Gereja, Misa serta Perayaan liturgi lainnya menjadi perayaan komunitas, perayaan syukur dan memberi inspirasi perubahan.

Selanjutnya saya mencoba berjalan bersama membangun 'perubahan' dalam penggembalaan paroki berdasarkan semangat doa dan Ekaristi. Satu hal yang menegaskan saya berani berbuat ialah bahwa keselamatan terjadi bukan karena pertama-tama doa-doa yang sekedar diucapkan atau bahkan dinyanyikan, melainkan doa yang kita wujudkan dalam perbuatan hidup. Bacaan Injil hari ini menegaskan kepada kita bahwa hidup dalam kehendak-Nya, dalam Sabda-Nya ialah ketika kita tidak hanya sekadar menyebut Tuhan, Tuhan setiap jam, setiap saat, melainkan bagaimana sabda-Nya kita wujudkan dalam perbuatan sehari-hari.

Impian saya: Persekutuan umat Allah yang dihidupi oleh doa dan Ekaristi adalah persekutuan umat yang menghadirkan Kerajaan Allah sebagai proses pembebasan. Sebab ketidakhadiran Kerajaan Allah, entah karena ketidakmampuan: menyekolahkan anak, menjangkau kesehatan, berperan dalam bidang sosial, politik dan akses yang lain dalam masyarakat memberikan bukti tidak adanya pembebasan atau keselamatan. Akibatnya kalau kita berbicara soal Gereja, lebih tepat lagi umat basis, maka visinya : Persekutuan Umat beriman yang dihidupi oleh Sabda dan doa (khususnya Ekaristi) untuk melanjutkan karya perutusan menghadirkan Kerajaan Allah dalam proses pembebasan manusia.

Gagasan itulah yang saya kembangkan di paroki tempat saya diutus dan mempengaruhi saya dalam berpikir mengenai Gereja. Orang beriman Katolik adalah mereka yang dipanggil untuk menghadirkan Kerajaan Allah. Penegasan saya mengenai Kerajaan Allah bukan sekadar penyelamatan jiwa-jiwa, menyanyikan lagu-lagu suci, meningkatkan devosi dan kesalehan pribadi; melainkan bagaimana doa kita lanjutkan dengan gerakan pembebasan manusia seutuhnya. Orang beriman yang setiap hari berdoa dan ber-Ekaristi adalah orang yang dipanggil untuk melanjutkan membagikan Roti kepada mereka, khususnya yang membutuhkan peneguhan dan kehadiran kita untuk bersama-sama berproses membebaskan dirinya dari pelbagai belenggu 'dosa'.

Gereja sungguh sebagai paguyuban murid Kristus ketika doa yang dilantunkan menghadirkan karya pembebasan melalui kegiatan nyata umat. Doa pun harus berdampak dalam kehidupan sosial. Membangun manusia seutuhnya adalah bagian dari “kerinduan” komunitas yang dihidupi oleh semangat doa. Doa bukan sekadar kata saleh dan khusuk yang diucapkan melainkan dilanjutkan dalam perwujudan. Itulah artinya mendirikan rumah di atas wadas. (Aldi)

Ekaristi: Kerelaan untuk Berbagi (Kehadiran Gereja dalam kehidupan Kaum Buruh)









Dalam kebijakan Keuskupan Agung Jakarta ada penegasan dan tidak boleh ditawar bahwa perhatian kepada kaum buruh dan pekerja menjadi prioritas pastoral. Komitmen keuskupan kita akan nasib buruh antara lain karena di Jakarta begitu banyak kaum pekerja dan buruh, juga terjadi banyak persoalan. Mulai dari soal pekerjaan itu sendiri, persoalan kelayakan gaji, tempat tinggal, komunitas dan kehidupan sosial yang lain. Juga keuskupan melihat bahwa di antara sekian juta kaum buruh ada yang beriman Katolik. Saya kita tidak berlebihan kalau keuskupan mengharapkan kegembalaan di tingkat paroki juga menyapa kaum buruh.

Berkenaan dengan kaum buruh dan pekerja, apa yang bisa kita buat sebagai langkah pastoral untuk menyikapi ajakan pastoral KAJ dalam konteks MBK? Banyak jalan bisa kita buat dan masing-masing ada konsekuensi, komitmen dan aneka upaya untuk mewujudkannya. Saya tidak akan memberikan ide yang muluk-muluk, melainkan akan mengajak untuk memulai dari kebiasaan paling asasi sebagai Gereja Katolik, yaitu Ekaristi. Orang akan bertanya apa hubungan Ekaristi dalam menyapa kaum buruh.

Kalau kita merayakan Ekaristi ada peristiwa yang sangat menarik dan menyentuh saya yaitu ketika Yesus membagi roti untuk dipecah-pecah dan diberikan kepada yang lain. Yohanes Paulus II, pernah mengatakan sebagai imam (saya kira juga sebagai orang Katolik) ketika aku misa, aku bersama Tuhan. Dalam membagikan komuni kuberikan diriku bersama Tuhan agar menjadi sumber kekuatan bagi orang lain. Artinya aku sungguh memberikan diriku untuk melayani mereka dan membuat mereka hidup. Imamat adalah untuk dipecah-pecahkan. Dipecahkan kerap sakit, tidak enak. Tetapi itulah jalan penebusan dan jalan salib. Sebab tanpa dipecah tidak akan dirasakan dan menghidupkan orang lain. Nah itulah salah satu semangat Ekaristi ketika kita dipanggil untuk menjadi peduli.

Dalam terang Ekaristi, Gereja juga dipanggil untuk berbagi dan semakin peduli untuk meningkatkan kehidupan. Bersinggungan dengan kehidupan buruh dan pekerja, Gereja yang selalu bersumber pada Ekaristi hendaknya mempunyai sikap belarasa sosial kepada mereka yang menderita dan miskin. Nyata di sekitar kita, kaum buruh adalah kelompok yang paling konkret kemiskinan dan penderitaannya. Ketika Gereja berani masuk dan bekerja di antara kaum buruh, Ekaristi sebagai proses untuk berbagi dan menghidupi akan semakin terasa.

Langkah pastoral yang boleh kita timba dari Ekaristi antara lain mencoba untuk berani memberikan diri dengan menyapa mereka sebagai pribadi. Dengan mengangkat martabat mereka, misalnya dari tenaga borongan atau kontrakan menjadi karyawan yang sedikit punya harapan, saya kira itulah satu bentuk pastoral. Memberi kehidupan sebagaimana Yesus memberikan dirinya dalam Ekaristi tidak lain ketika paroki sebagai komunitas juga memberikan kehidupan kepada mereka yang membutuhkan pekerjaan. Mengupayakan beberapa sarana penunjang agar mereka yang tidak bisa bekerja menjadi bisa bekerja adalah hal yang baik. Misalnya mengupayakan toko paroki secara profesional dan ada profitnya. Juga hal-hal penunjang yang lain yang memang bisa menolong tanpa melupakan intension dantis -nya saya kira masih sesuai dengan arah pastoral.

Namun juga ingat bahwa memperhatikan kaum buruh dan pekerja bukan sekadar belas kasih, melainkan juga sikap yang selalu berdampak pemberdayaan. Misalnya saya pernah mengajak bicara dengan karyawan paroki agar rasa keadilan menjadi motto kerja kita di paroki. Tidak adil ketika paroki harus berbelas kasih kepada anak-anak mereka untuk membiayai uang buku dan bantuan sekolah lainnya; eh… malah bapaknya merokok Dji Sam Soe. Upaya lain juga bagaimana paroki mendidik dalam kehidupan rumah tangga mereka dengan budaya menabung dan pendidikan nilai dalam menghadapi budaya konsumtif. Saya katakana kalau beli sesuatu ya mbok mikir dulu; perlu tidak untuk kami, penting atau tidak, mendesak atau tidak. Kita ajak untuk membuat prioritas kebutuhan.

Lalu saya ingat akan nasihat seorang bapak rohani saya: kebahagiaan keluarga ternyata bukan karena kekuatan uang melainkan kemampuan membuat sebuah prioritas dan kebutuhan. (Aldi)

Rabu, 11 Agustus 2010

Kita Harus Lebih Dari Zakeus











Dalam Injil Mateus 19:1-10, penulis merefleksikan Yesus yang kehadiran-Nya membuat manusia mampu berubah. Bahkan bukan sekadar berubah, melainkan semakin maju dalam hal hidup rohani (menjadi terbuka akan kehendak Allah). Peristiwa Zakheus yang akhirnya menjadi pribadi yang menyadari kelemahannya, yang berupaya menjadi berarti bagi orang lain dan mengalami pertobatan yang mendalam, merupakan sebuah refleksi kemuridan Yesus.

Dalam kesehariannya Yesus senantiasa hadir dan 'berjalan' dari kampung ke kampung. Berjalan dalam kehidupan nyata manusia. Dalam kehadiran dan perjalanan-Nya itulah Ia senantiasa bertemu dan berjumpa dengan banyak orang. Nah kali ini dalam perjalanan-Nya Ia bertemu dengan seorang yang bernama Zakheus. Zakheus yang sering mendengar tentang Yesus merasa tergoda untuk melihat macam apa Yesus itu. Karena badannya pendek, ia berusaha dan berjuang untuk bisa melihat Ysus dengan cara memanjat pohon. Menyaksikan peristiwa itu Yesus menyapa dan berkehendak untuk 'mampir' dan masuk ke rumah Zakheus.

Perjumpaan Yesus dan Zakheus di rumahnya menumbuhkan pengalaman baru. Bagi Zakheus, Yesus adalah berkat dan kekuatan, dan sekaligus berkat dan kekuatan itu membuat dirinya berubah. Karena perjumpaan dengan Yesus maka Zakheus mengalami pertobatan. Dan pertobatan itu bukan sekadar menyesali kekurangannya selama ini, melainkan pertobatan yang ia wujudkan dengan perbuatan yang nyata. Zakheus mengalami demikian karena ia mempersilakan Yesus untuk singgah di rumahnya.

Dalam keseharian kita, kerap kali kita kurang sadar bahwa Yesus pun tetap seperti dulu, senantiasa berjalan dan ada di sekitar kita. Ia sebenarnya mewartakan hidup-Nya setiap saat. Persoalannya yang mendasar adalah karena kita kerap kali tidak mau mempersilakan Yesus mampir di hati rumah kita masing-masing. Coba kalau kita mengundang Yesus untuk tinggal di hati rumah kita, pasti kita melebihi Zakheus. Zakheus yang dikatakan orang berdosa mampu berubah dan menjadi sesama bagi orang lain. Apalagi kita yang telah dibaptis, kita pasti lebih dari Zakheus. (aldi)

Sebelum Tertingal Kereta









Terlambat! Menyesal? Dua kata untuk pengalaman terlambat sampai di bandara dan tertinggal pesawat sehingga sekian rentetan acara menjadi kacau. Menyesal adalah perasaan yang muncul waktu itu.

Yesus juga mengingatkan kita agar jangan terlambat dan akhirnya menyesal. Persoalannya pasti bukan terlambat ke bandara atau stasiun, melainkan terlambat memasuki Kerajaan Allah. Yesus mengangkat soal terlambat memasuki Kerajaan Allah tidak lain untuk mendobrak pola pikir saat itu mengenai keselamatan. Yesus mengingatkan bahwa pertama-tama orang harus mau berjuang. Keselamatan itu seumpama memasuki pintu yang sempit. Karena sempit, orang dituntut untuk berjuang, untuk mengaktualkan hidupnya dalam menanggapi kehendak Allah.

Yesus melihat orang-orang zaman itu 'gampangke' (melihat semuanya seakan-akan mudah), termasuk memasuki Kerajaan Allah. Mereka mengira bisa masuk Kerajaan Allah cukup dengan melakukan hal-hal ini: berdoa ada hari Sabat, menaati Taurat dan dirinya disunat sebagai pemenuhan hukum.

Bagi Yesus pola pikir atau idealisme rohani yang hanya sebatas menjalankan peraturan keagamaan tidaklah cukup. Untuk bisa memasuki Kerajaan Allah, orang harus hidup melebihi peraturan dan dengan demikian menuju keutamaan. Keutamaan yang dimaksud tidak lain mengembangkan hidup (berjuang) berdasarkan iman. Artinya kehidupan yang kita tapaki ini mesti kita hidupi dengan iman yang kita yakini, sehingga imanlah yang membentuk karakter dan pola pikir kita. Sebab, memasuki kerajaan Allah bukan soal peraturan apa yang sudah kita taati melainkan bagaimana kehidupan yang ada aturannya itu mewujud dalam diri kita. Dengan terwujudnya kehidupan semacam itu, keberadaan kita di tengah-tengah zaman memiliki bobot karena kehidupan kita dibentuk oleh apa yang kita imani. Kalau ini terjadi, hidup kita akan menampakkan mutu yang sebenarnya. Kalau hidup bermutu pasti pintu Kerajaan Allah tetap terbuka untuk kita.

Apa yang terungkap dalam Injil (Luk 13:22-30) juga perlu kita letakkan dalam kehidupan beriman kita. Kerap kali kita merasa bangga kalau sudah ke gereja, merasa tidak berdosa dan tidak melanggar sepuluh perintah Allah. Tentu itu semuanya adalah baik adanya. Namun untuk memasuki kerajaan Allah belum cukup; kita belum berusaha agar bagaimana iman yang kita hidupi dengan doa dan ibadat membawa perubahan baik pada diri sendiri maupun pada kehidupan sosial kita, serta bagaimana dengan doa sebagai orang-orang beriman menjadi kita menjadi agen perubahan sosial. Berusaha adalah menjadikan diri kita mempunyai peran dan arti dalam peziarahan di dunia ini. Pasti kalau ini terjadi kita tidak akan menemukan pintu tertutup untuk hati kita.

Berusahalah sekarang juga agar tidak tertinggal kereta. Semoga. Amin.
(aldi)

Engkaulah Mesias dari Allah!










Pengalaman adalah guru yang baik. Seseorang bisa memaknai atau yakin akan hidup yang dialaminya bukan ketika ia tahu banyak tentang sesuatu, tapi karena sekaligus mengalaminya. Pertanyaan Yesus kepada Petrus, "Menurut kamu siapakah Aku ini?", menanti jawaban yang melampaui pengetahuannya. Maka pengakuan Yesus sebagai Mesias dari mulut Petrus merupakan pengetahuan dan buah pengalaman hidup bersama-Nya.

Secara langsung dan konkret, sebagai Mesias, Yesus terlibat dalam hidup keagamaan, budaya, politik, sosial dan ekonomi waktu itu. Semua ajaran dan perilaku-Nya adalah bagian dari perjuangan melawan mentalitas yang legalistis, menentang pemalsuan hukum demi kepentingan kelompok tertentu yang menindas rakyat kecil dan melarat. Masalah ketidakadilan, martabat manusia, kebebasan dan persaudaraan adalah pusat perhatian Yesus untuk mewartakan Kerajaan Allah. Dia sungguh mengalami hal-hal yang dialami rakyat jelata dan membawa banyak perubahan mendasar di dalamnya. Suatu perubahan, yang membangun motivasi rakyat untuk berani menaruh harapan dan berjuang dalam hidup, sekaligus menentang praktik dan kebijaksanaan politis kelompok elite Yahudi saat itu.

Yesus prihatin terhadap rakyat Palestina karena penjajahan lokal oleh kelompok elite dalam masyarakat. Khususnya, pemberlakuan hukum yang sangat memberatkan rakyat. Agama Yahudi juga dikontrol dan dimanfaatkan demi keuntungan para penguasa. Yesus menghindari konfrontasi terbuka dengan Romawi sebab pihak Roma akan salah menafsirkan gagasan dan rencana keselamatan dari Bapa-Nya. Namun terang-terangan Dia melawan sistem yang tidak adil, menyerang tatanan yang menindas rakyat Palestina. Perlawanan Yesus Sang Mesias Dia tunjukkan dalam tuntutan untuk melaksanakan kasih yang tulus, persamaan dan persaudaraan, kebebasan untuk semua orang dari segala macam penindasan. Dia menegaskan hak setiap orang atas makanan, kesehatan, martabat, bermasyarakat serta kebahagiaan hidup. Semua itu adalah karunia Allah untuk semua orang dan hadiah dari seseorang kepada sesamanya. Dalam masyarakat baru versi Yesus, semua itu dijamin bagi setiap orang. Pembaharuan Yesus inilah yang membuat geger bagi para penguasa dan tidak jarang malah membuat kagum rakyat kecil.

Karena sikapnya itu Yesus disebut Mesias (pembebas) oleh Petrus. Bukan karena ia tahu semata tapi karena ia hidup bersama-Nya. Pengalaman mesianis adalah pengalaman iman yang dibuat Yesus agar dilanjutkan mereka yang mengakui-Nya sebagai Mesias. Maka ciri keimanan yang sejati adalah kehadiran Gereja sebagai komunitas penebus, komunitas pengharapan dan komunitas pembebasan bagi semua. Kalau hal ini terjadi, Gereja hadir sebagai komunitas Mesianis dari Allah sendiri.

Selamat membangun komunitas mesianis dalam hidup Saudara!
(aldi)

Menjadi Seorang Murid









Dalam sebuah artikel yang berjudul “menghadapi kebimbangan hari ini dan esok” ada tulisan bahwa perubahan adalah keputusan yang sangat penting. Gereja Katolik berkeyakinan bahwa perubahan tanpa komunitas dan tradisi hanya akan menjadi sebuah perubahan semu yang tidak berdampak mendalam. Perubahan tanpa tradisi hanya akan membawa organisasi untuk menggali liang kuburnya sendiri.

Dalam bacaan Injil Minggu ini (Yoh. 14:23-29) Yesus juga mengajak komunitas para murid kembali kepada tradisi untuk menatap ke depan, untuk mengembangkan dan juga membangun sebuah perubahan dalam perutusan-Nya sebagai murid-murid Yesus. Yesus memahami bahwa dengan akan ditinggalkan oleh-Nya para murid pasti akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan arah. Bahkan Yesus pun agak khawatir apakah mereka memahami arah. Maka sebagai penegasan rohani, Yesus memberikan sebuah prinsip dasar komunitas perdana, yaitu kasih kepada Sang Guru. Yesus menegaskan bahwa mengasihi diri-Nya dengan sendirinya menepati sabda-Nya dan dengan demikian Allah bersama-Nya. Konsekuensi dan buah-buah yang harus ditampakkan sebagai bentuk mengasihi Yesus dan menepati sabda-Nya adalah jangan gelisah dan jangan gentar.

Jangan gelisah dan gentar boleh juga kita ganti istilah kesetiaan kepada Allah. Yesus memahami bahwa pendidikan yang diberikan kepada para murid-Nya dalam hidup bersama dalam pengalaman karya-Nya tidak semuanya ditangkap. Yesus juga menyadari bahwa tidak semua murid-Nya mempunyai kualitas yang sama ketika harus menghadapi belbagai benturan dan juga Yesus menyadari bahwa cara pandang para murid-Nya juga berbeda-beda ketika menghadapi situasi konkret mereka. Sebagai seorang pendidik dan Guru Yesus menyadari ini; maka Ia tidak pernah berpikir atau kelompok muirid ini atau kelompok murid itu, melainkan mereka semua ya murid yang cerdas, ya murid yang kurang cerdas bahkan juga murid yang “memble” sekalipun. Ia menyadari bahwa semuanya adalah kebersamaan untuk membangun komunitas perdana sebagai kesatuan murid Yesus.

Kesetiaan yang diharapkan oleh Yesus adalah kesetiaan yang mendatangkan sukacita yaitu kesetiaan yang bermuara pada ketulusan. Kemuridan yang sungguh-sungguh tanpa pamrih. Orang bilang sering antara tulus dan kepentingan atau pamrih tipis bedanya. Bagi saya tidak soal orang berkata demikian, namun hal yang tidak bisa dipungkiri ketika kemuridan kita terima berdasarkan kesetiaan maka kegembiraanlah yang akan menampakkan dalam kehidupan sehari-hari. Kegembiraan menjadi miliknya karena ia menyadari bahwa menjadi seorang murid Yesus adalah menjadi pribadi yang mengetahui konsekuensi kemudidan dan dirinya mau untuk diubah sebagaimana Yesus mau. Dan maunya Yesus jelas; di mana kasih menjadi kebudayaan dan kondisi batin para murid-Nya. Banyak di antara kita yang ketika harus diubah, harus berubah dan harus mengadakan rekonsiliasi diwarnai dengan kejengkelen dalam hati. Konsekuensi itulah yang kemudian menjadi kesadaran dirinya untuk dihayati sehingga dalam seluruh hidupnya ia bisa menerima dengan rendah hati. Benar bahwa kemuridan Yesus menuntut sebuah kesadaran untuk menerima risiko dan risiko itu sebagai panggilan hidupnya. Kesadaran sekaligus sebagai kepercayaan karena Yesus akan tetap menyertai dengan mengutus Roh Kudus kepada kita.

Kemuridan Yesus adalah sebuah sikap hidup, bagaimana kita yang mencintai Yesus berusaha untuk tidak gentar dalam mewujudkan kesetiaan kepada kehendak Bapa. Bagaimana kita bersukacita, gembira dalam menghadapi kehidupan ini dan menjadi orang-orang yang setia karena kehendak Allahlah yang kita lakukan bukan kehendak dan kepentingan diri kita masing-masing. (aldi)

Minggu, 08 Agustus 2010

Musa, Pemimpin Sejati














Dalam Kitab Bilangan, Musa disebut hamba:
Bukan demikian hamba-Ku Musa. Seorang yang setia dalam segenap rumah-Ku. Sebutan hamba ini diulang kembali pada pada saat kematiannya: Lalu matilah Musa, hamba Tuhan itu sesuai dengan firman Tuhan (Ul 34:5).

Sebutan ini adalah gelar kehormatan yang diberikan kepadanya pada akhir hidupnya. Memang seluruh hidup Musa adalah pelayanan. Ia memberikan perbagai macam pelayanan: menyediakan roti dan air, memikul tanggung jawab umum dalam doa dan pengantaraan, dalam penghiburan dan sabda. Dalam permenungan kita mengenai kepemimpinan, akan kita lihat bagaimana Musa melaksanakan pelayanan tersebut. Kita akan merenungkan dalam pelayanan Musa dalam proses penyeberangan Laut Merah.

Baru saja nyanyian kemenangan dilambungkan dan antusiasme penyeberangan Laut Merah belum surut, ketika bangsa Israel mulai bersungut-sungut karena mereka kekurangan air, Musa dipaksa untuk memikirkan hal itu. Ia tidak bermimpi untuk menjadi orang yang harus menyediakan air. Tetapi nyatanya, ia tidak bisa menghindar untuk memikirkan hal tersebut. Segera sesudah itu diceritakan pula bahwa mereka kekurangan roti, sehingga Musa pun terpaksa harus memikirkan hal itu. Sesudah itu mereka kekurangan daging dan kekurangan air lagi. Ketika Allah bersabda dan mengutusnya, ”Pergi dan bebaskanlah bangsa-Ku!”, Musa tidak pernah berpikir bahwa ia harus mengerjakan tugas-tugas yang sepele seperti itu. Ternyata segala-galanya harus ia pikirkan.

Pada waktu itu Yitro, mertuanya, seorang yang bijaksana berkata kepadanya, ”Apakah ini yang kau lakukan kepada bangsa itu? Mengapa engkau seorang diri saja yang duduk, sedangkan seluruh bangsa itu berdiri di depanmu dari pagi hingga petang?” Kata Musa kepada mertuanya itu, ”Sebab bangsa itu datang kepadaku untuk menanyakan petunjuk Allah. Apabila ada perkara di antara mereka, maka mereka datang kepadaku dan aku mengadili antara yang seorang dan yang lain; lagipula aku memberitahukan kepada mereka ketetapan-ketetapan dan keputusan-keputusan Allah”. Tetapi mertuanya menjawab, ”Tidak baik seperti yang engkau lakukan itu. Engkau akan menjadi sangat lelah, baik engkau, baik bangsa yang beserta engkau ini. Sebab pekerjaan itu terlalu berat bagimu, takkan sanggup engkau melakukannya seorang diri. Jadi sekarang dengarkanlah perkataanku, aku akan memberi nasihat kepadamu dan Allah akan menyertai engkau.”

Lalu Yitro mengusulkan agar Musa memilih beberapa orang yang cakap dan takut akan Allah, serta mengangkat mereka menjadi pemimpin kelompok-kelompok yang jumlahnya seribu, seratus, lima puluh dan sepuluh. Musa hanya akan menangani masalah-masalah yang besar.

Ini adalah saat yang penting dalam kehidupan Musa karena ia harus belajar melaksanakan kepemimpinannya. Pada mulanya ia mengira dapat mengerjakan segala-galanya, namun ia belajar sesuatu yang lain. Bahwa kepemimpinan yang baik adalah melibatkan banyak orang dan mengajak orang untuk mau terlibat. Tanpa keterlibatan, tidak ada perubahan yang semakin baik. Bagaimana dengan peran kita di lingkungan dan paroki? Mau membantu Musa untuk membawa umat kepada penebusan Kristus??? (aldi)