Senin, 30 Agustus 2010

Ekaristi: Kerelaan untuk Berbagi (Kehadiran Gereja dalam kehidupan Kaum Buruh)









Dalam kebijakan Keuskupan Agung Jakarta ada penegasan dan tidak boleh ditawar bahwa perhatian kepada kaum buruh dan pekerja menjadi prioritas pastoral. Komitmen keuskupan kita akan nasib buruh antara lain karena di Jakarta begitu banyak kaum pekerja dan buruh, juga terjadi banyak persoalan. Mulai dari soal pekerjaan itu sendiri, persoalan kelayakan gaji, tempat tinggal, komunitas dan kehidupan sosial yang lain. Juga keuskupan melihat bahwa di antara sekian juta kaum buruh ada yang beriman Katolik. Saya kita tidak berlebihan kalau keuskupan mengharapkan kegembalaan di tingkat paroki juga menyapa kaum buruh.

Berkenaan dengan kaum buruh dan pekerja, apa yang bisa kita buat sebagai langkah pastoral untuk menyikapi ajakan pastoral KAJ dalam konteks MBK? Banyak jalan bisa kita buat dan masing-masing ada konsekuensi, komitmen dan aneka upaya untuk mewujudkannya. Saya tidak akan memberikan ide yang muluk-muluk, melainkan akan mengajak untuk memulai dari kebiasaan paling asasi sebagai Gereja Katolik, yaitu Ekaristi. Orang akan bertanya apa hubungan Ekaristi dalam menyapa kaum buruh.

Kalau kita merayakan Ekaristi ada peristiwa yang sangat menarik dan menyentuh saya yaitu ketika Yesus membagi roti untuk dipecah-pecah dan diberikan kepada yang lain. Yohanes Paulus II, pernah mengatakan sebagai imam (saya kira juga sebagai orang Katolik) ketika aku misa, aku bersama Tuhan. Dalam membagikan komuni kuberikan diriku bersama Tuhan agar menjadi sumber kekuatan bagi orang lain. Artinya aku sungguh memberikan diriku untuk melayani mereka dan membuat mereka hidup. Imamat adalah untuk dipecah-pecahkan. Dipecahkan kerap sakit, tidak enak. Tetapi itulah jalan penebusan dan jalan salib. Sebab tanpa dipecah tidak akan dirasakan dan menghidupkan orang lain. Nah itulah salah satu semangat Ekaristi ketika kita dipanggil untuk menjadi peduli.

Dalam terang Ekaristi, Gereja juga dipanggil untuk berbagi dan semakin peduli untuk meningkatkan kehidupan. Bersinggungan dengan kehidupan buruh dan pekerja, Gereja yang selalu bersumber pada Ekaristi hendaknya mempunyai sikap belarasa sosial kepada mereka yang menderita dan miskin. Nyata di sekitar kita, kaum buruh adalah kelompok yang paling konkret kemiskinan dan penderitaannya. Ketika Gereja berani masuk dan bekerja di antara kaum buruh, Ekaristi sebagai proses untuk berbagi dan menghidupi akan semakin terasa.

Langkah pastoral yang boleh kita timba dari Ekaristi antara lain mencoba untuk berani memberikan diri dengan menyapa mereka sebagai pribadi. Dengan mengangkat martabat mereka, misalnya dari tenaga borongan atau kontrakan menjadi karyawan yang sedikit punya harapan, saya kira itulah satu bentuk pastoral. Memberi kehidupan sebagaimana Yesus memberikan dirinya dalam Ekaristi tidak lain ketika paroki sebagai komunitas juga memberikan kehidupan kepada mereka yang membutuhkan pekerjaan. Mengupayakan beberapa sarana penunjang agar mereka yang tidak bisa bekerja menjadi bisa bekerja adalah hal yang baik. Misalnya mengupayakan toko paroki secara profesional dan ada profitnya. Juga hal-hal penunjang yang lain yang memang bisa menolong tanpa melupakan intension dantis -nya saya kira masih sesuai dengan arah pastoral.

Namun juga ingat bahwa memperhatikan kaum buruh dan pekerja bukan sekadar belas kasih, melainkan juga sikap yang selalu berdampak pemberdayaan. Misalnya saya pernah mengajak bicara dengan karyawan paroki agar rasa keadilan menjadi motto kerja kita di paroki. Tidak adil ketika paroki harus berbelas kasih kepada anak-anak mereka untuk membiayai uang buku dan bantuan sekolah lainnya; eh… malah bapaknya merokok Dji Sam Soe. Upaya lain juga bagaimana paroki mendidik dalam kehidupan rumah tangga mereka dengan budaya menabung dan pendidikan nilai dalam menghadapi budaya konsumtif. Saya katakana kalau beli sesuatu ya mbok mikir dulu; perlu tidak untuk kami, penting atau tidak, mendesak atau tidak. Kita ajak untuk membuat prioritas kebutuhan.

Lalu saya ingat akan nasihat seorang bapak rohani saya: kebahagiaan keluarga ternyata bukan karena kekuatan uang melainkan kemampuan membuat sebuah prioritas dan kebutuhan. (Aldi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar