Rabu, 11 Agustus 2010

Menjadi Seorang Murid









Dalam sebuah artikel yang berjudul “menghadapi kebimbangan hari ini dan esok” ada tulisan bahwa perubahan adalah keputusan yang sangat penting. Gereja Katolik berkeyakinan bahwa perubahan tanpa komunitas dan tradisi hanya akan menjadi sebuah perubahan semu yang tidak berdampak mendalam. Perubahan tanpa tradisi hanya akan membawa organisasi untuk menggali liang kuburnya sendiri.

Dalam bacaan Injil Minggu ini (Yoh. 14:23-29) Yesus juga mengajak komunitas para murid kembali kepada tradisi untuk menatap ke depan, untuk mengembangkan dan juga membangun sebuah perubahan dalam perutusan-Nya sebagai murid-murid Yesus. Yesus memahami bahwa dengan akan ditinggalkan oleh-Nya para murid pasti akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan arah. Bahkan Yesus pun agak khawatir apakah mereka memahami arah. Maka sebagai penegasan rohani, Yesus memberikan sebuah prinsip dasar komunitas perdana, yaitu kasih kepada Sang Guru. Yesus menegaskan bahwa mengasihi diri-Nya dengan sendirinya menepati sabda-Nya dan dengan demikian Allah bersama-Nya. Konsekuensi dan buah-buah yang harus ditampakkan sebagai bentuk mengasihi Yesus dan menepati sabda-Nya adalah jangan gelisah dan jangan gentar.

Jangan gelisah dan gentar boleh juga kita ganti istilah kesetiaan kepada Allah. Yesus memahami bahwa pendidikan yang diberikan kepada para murid-Nya dalam hidup bersama dalam pengalaman karya-Nya tidak semuanya ditangkap. Yesus juga menyadari bahwa tidak semua murid-Nya mempunyai kualitas yang sama ketika harus menghadapi belbagai benturan dan juga Yesus menyadari bahwa cara pandang para murid-Nya juga berbeda-beda ketika menghadapi situasi konkret mereka. Sebagai seorang pendidik dan Guru Yesus menyadari ini; maka Ia tidak pernah berpikir atau kelompok muirid ini atau kelompok murid itu, melainkan mereka semua ya murid yang cerdas, ya murid yang kurang cerdas bahkan juga murid yang “memble” sekalipun. Ia menyadari bahwa semuanya adalah kebersamaan untuk membangun komunitas perdana sebagai kesatuan murid Yesus.

Kesetiaan yang diharapkan oleh Yesus adalah kesetiaan yang mendatangkan sukacita yaitu kesetiaan yang bermuara pada ketulusan. Kemuridan yang sungguh-sungguh tanpa pamrih. Orang bilang sering antara tulus dan kepentingan atau pamrih tipis bedanya. Bagi saya tidak soal orang berkata demikian, namun hal yang tidak bisa dipungkiri ketika kemuridan kita terima berdasarkan kesetiaan maka kegembiraanlah yang akan menampakkan dalam kehidupan sehari-hari. Kegembiraan menjadi miliknya karena ia menyadari bahwa menjadi seorang murid Yesus adalah menjadi pribadi yang mengetahui konsekuensi kemudidan dan dirinya mau untuk diubah sebagaimana Yesus mau. Dan maunya Yesus jelas; di mana kasih menjadi kebudayaan dan kondisi batin para murid-Nya. Banyak di antara kita yang ketika harus diubah, harus berubah dan harus mengadakan rekonsiliasi diwarnai dengan kejengkelen dalam hati. Konsekuensi itulah yang kemudian menjadi kesadaran dirinya untuk dihayati sehingga dalam seluruh hidupnya ia bisa menerima dengan rendah hati. Benar bahwa kemuridan Yesus menuntut sebuah kesadaran untuk menerima risiko dan risiko itu sebagai panggilan hidupnya. Kesadaran sekaligus sebagai kepercayaan karena Yesus akan tetap menyertai dengan mengutus Roh Kudus kepada kita.

Kemuridan Yesus adalah sebuah sikap hidup, bagaimana kita yang mencintai Yesus berusaha untuk tidak gentar dalam mewujudkan kesetiaan kepada kehendak Bapa. Bagaimana kita bersukacita, gembira dalam menghadapi kehidupan ini dan menjadi orang-orang yang setia karena kehendak Allahlah yang kita lakukan bukan kehendak dan kepentingan diri kita masing-masing. (aldi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar